Indonesia saat ini sedang
bergegas mencukupi gizi alutsista semua matra. Mengapa harus bergegas, karena kita harus segera menyiapkan bangunan
kokoh benteng pertahanan negeri ini untuk mengantisipasi cuaca ekstrim dan tak
terduga. Potensi konflik di kawasan Timur Jauh khususnya Laut China Selatan
(LCS) bukan lagi cerita fiksi. Melainkan
sudah menumbuhkan tunas inkubasi dan berkembang liar. Secara teknis di LCS saat
ini sudah dalam kondisi siap tempur. Meriam air Coast Guard China sudah sering
memuntahkan amunisinya untuk menggertak dan menghalau Coast Guard Filipina dan
Vietnam. Seperti pertumbuhan bisul yang menunggu titik breaking news.
Kalau kita lihat Anggaran
Pertahanan Besaran nominalnya US$ 25 Milyar untuk periode 2020-2024. Ini adalah
belanja alutsista terbesar setelah era Dwikora. Realisasinya bisa kita lihat
dengan beragam transaksi alutsista. Antara lain 42 jet tempur Rafale, 2 kapal
perang heavy fregate merah putih, 2 kapal perang PPA, 2 kapal selam Scorpene
Evolved, 20 radar GCI, software network centric warfare, satelit intelijen, 2
pesawat A400M, 2 pesawat tanker, 12 UCAV Anka, 14 UAV Scan Eagle, 6 kapal cepat
rudal, 4 kapal OPV, 2 kapal intelijen bawah air, 1 kapal submarine rescue, 22 helikopter blackhawk, 8
helikopter Cougar, 9 helikopter Bell 412, 6 pesawat CN 235, 9 pesawat NC212, 18
tank Harimau dan lain-lain. Termasuk upgrade 41 KRI eksisting.
Ke depan akan semakin banyak
alutsista yang menjadi aset TNI. Baru lima belas tahun terakhir ini pemerintah
membuat rencana strategis pertahanan untuk perkuatan alutsista TNI. Dari
program renstra ini ternyata banyak sekali alutsista yang harus dipenuhi untuk
mengisi inventori aset di kesatrian dan pangkalan militer TNI. Padahal hanya
untuk mencapai kriteria minimum essential force (MEF). Bisa kita bayangkan
betapa tertinggalnya kita selama ini dalam pemenuhan kebutuhan gizi alutsista
pertahanan.
Setelah angkatan udara mendapatkan kepastian penambahan aset alutsista strategis. Kini giliran angkatan laut Indonesia menguatkan jatidiri jalesveva jayamahe. Dengan mendapatkan 4 kapal perang striking force ukuran jumbo dan 2 kapal selam serbu. Dari 4 kapal perang jumbo ini dua diantaranya sedang dibangun di PT PAL yaitu heavy fregate merah putih. Sementara dua lainnya adalah kapal perang PPA (Pattugliatore Polivante d'Altura) setara heavy fregate buatan Fincantieri Italia. Kita pun tahu penyelesaian pembangunan 2 kapal perang heavy fregate di PT PAL baru akan selesai paling cepat tahun 2027.
Nah, untuk percepatan
ketersediaan aset kapal perang, Kementerian Pertahanan melakukan model
pengadaan alutsista cepat saji. Ada 8 Kapal perang PPA setara heavy fregate
yang dipesan AL Italia sudah dan sedang dibuat Fincantieri. Dua unit
diantaranya kita "ambil alih" melalui lobby bisnis intensif dengan
mekanisme win-win solution. Hasilnya Oktober 2024 nanti satu kapal perang
diprediksi bisa datang di Indonesia. Kapal perang kedua tahun depan. Program
extra ordinary Kemhan ini bagian dari percepatan pemenuhan kebutuhan armada TNI
AL. Kita mengapresiasinya.
Demikian pula dengan pemenuhan
kebutuhan armada monster bawah air TNI AL. Setelah mendapat kepastian
penambahan 2 kapal selam Scorpene Evolved buatan Perancis, TNI AL dan Kemhan
berupaya melakukan pengadaan interim kapal selam lainnya. Mengapa harus dilakukan.
Karena membangun 2 kapal selam Scorpene Evolved membutuhkan durasi waktu 6-7
tahun. Padahal TNI AL saat ini sangat membutuhkan ketersediaan kuantitas dan
kualitas kapal selam.
Ini sama dengan program pengadaan
interim alutsista beberapa waktu yang lalu. Yaitu upaya mendatangkan 1 skadron
jet tempur Mirage dari Qatar. Mirage diperlukan secara instan dan cepat saji
karena pengadaan 42 jet tempur Rafale baru akan datang paling cepat tahun 2026.
Dan akan ditempatkan di Natuna. Sayangnya pengadaan interim ini tidak berjalan
mulus dan putus. Gonjang ganjing pada musim politik Pilpres bergaung keras.
Yang harganya kemahalan, pesawatnya sudah tua dan melalui pihak ketiga.
Begitulah bunyinya, kakinya bertanduk hewan apa namanya. Seperti lirik lagu
Kukuruyuk, bahasa politik memang ngeri-ngeri sedap.
Saat ini Indonesia memiliki 4
kapal selam "satu nasab lain ibu", sama-sama dari "DNA"
U209 Jerman. Cakra Class U209 yang hanya tinggal 1 unit asli buatan Jerman
tahun 1980. Sementara 3 unit Nagapasa Class U209 "foto copy" adalah
hasil kerjasama transfer teknologi DSME Korsel dengan PT PAL Indonesia.
Nagapasa Class selesai dibangun seluruhnya tahun 2017. Harus diakui ke 4 kapal
selam "anjing kampung" ini belum setara dengan kapal selam
"herder" punya tetangga. Padahal monster bawah air ini adalah
alutsista strategis yang punya daya gentar tinggi. Satu kapal selam bisa
"bertanding" dengan 9-10 kapal perang permukaan air.
Kemhan dan TNI AL saat ini sedang
berupaya untuk pengadaaan interim alutsista kapal selam sambil menunggu
selesainya pembangunan Scorpene Evolved.
Jujur saja dari ke 4 kapal selam kita yang ada saat ini hanya KRI Cakra
401 dan KRI Alugoro 405 yang mampu menjalankan tugas operasi. Dua lainnya yaitu
KRI Nagapasa 403 dan KRI Ardadedali 404 lebih banyak duduk manis di hanggarnya.
Keduanya dibuat di DSME Korsel. KRI Alugoro 405 yang dibuat di PT PAL nyatanya
lebih siap tugas tuh. Bulan ini Alugoro baru saja berhasil menembakkan torpedo
Blackshark ke arah KRI Pulau Romang 723 yang sudah pensiun di laut Bali.
Kita berharap proses pengadaan 2
kapal selam interim ini bisa selesai tahun ini. Soal kapasitas dan kemampuan
tentu TNI AL yang paling tahu. Dalam perspektif kita kapal selam jenis U212 dan
U214 merupakan pilihan yang pas. Karena masih satu keluarga besar dengan U209
yang kita miliki. Kehadiran 2 kapal selam interim diniscayakan akan mampu
membangun daya dukung operasional Korps Hiu Kencana. Target kita memiliki 12
kapal selam adalah sebanding dengan luasnya wilayah perairan Indonesia. Kemhan
dan TNI AL sedang mengejar perolehan ini. Meski jika digabung semua program
tadi baru akan tersedia 8 kapal selam. Lumayanlah.
Sumber dari beberapa analisa bapak Jagarin Pane / pemerhati pertahanan dan alutsista TNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar